Meninggalnya Jumadi Abdi akibat benturan dengan pemain lain di lapangan menimbulkan berbagai reaksi. Bagaimana sebenarnya standar pengamanan di sepak bola Indonesia? Benarkah mengesampingkan keamanan pemain?
ROBI JOHAN, Samarinda
SATU lagi noktah hitam sepak bola Indonesia muncul ke permukaan. Kematian Jumadi Abdi yang berawal dari kecelakaan di lapangan saat memperkuat timnya melawan Persela Lamongan, minggu lalu, menjadi bahan pembelajaran semua pemain sepak bola. Olahraga terpopuler di dunia ini pada dasarnya jauh dari bentuk kekerasan. Meski, kontak bodi antarpemain tidak bisa dikesampingkan dari permainan 11 lawan 11 ini.
Kecekatan pemain dalam memainkan bola menggunakan kaki, juga jarang menimbulkan risiko kecelakaan yang fatal. Kalaupun ada risiko cedera, biasanya dialami pemain tidak jauh dari organ penopang tubuh bernama kaki. Banyak bagian tungkai hingga pahan yang rawan cedera. Mulai dari metatarsus, engkel, lutut, pangkal paha atau jaringan otot yang robek baik karena benturan dengan pemain lain, atau faktor kelelahan. Meski tidak jarang terjadi cedera pada organ selain kaki, namun itu bisa dikategorikan sebagai pengecualian.
Sebenarnya apa yang dialami Jumadi Abdi bukan kali pertama di Indonesia. Di tahun 2000 silam, publik Tanah Air dikejutkan dengan meninggalnya pemain Persebaya Surabaya Eri Irianto setelah mengalami benturan pada pertandingan menghadapi PSIM Jogjakarta. Meski kematian Eri dikaitkan dengan indikasi pemain tersebut mengonsumsi narkoba, tapi penurunan kondisi pemain tersebut berawal dari lapangan hijau.
Memang, tidak bisa disalahkan jika kematian Jumadi Abdi semata benturan dengan Deny Tarkas. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah semua pemain mendapatkan porsi pengamanan dari panitia pertandingan?
Jika merujuk pada penanganan Jumadi, bisa dijawab hal tersebut sudah dilakukan dengan maksimal. Bontang PKT yang memainkan laga di Stadion Mulawarman dikenal publik sepak bola tanah air memiliki stadion dengan fasilitas penunjang kelas wahid. Kualitas rumput, lampu stadion, bahkan penunjang kesehatan adalah alasan kenapa penilaian tersebut mengemuka.
Satu contoh pelayanan yang menunjang profesionalisme tim medis PKT adalah penggunaan mobil golf untuk mengevakuasi pemain yang mengalami kendala di lapangan dengan segera. Atau, segera dibawa RS PKT yang juga masih dalam areal perusahaan PT Pupuk Kaltim, yang berjarak tidak lebih dari 1 km dari stadion. Wajar jika sarana tersebut yang menjadi salah satu acuan Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) merekomendasikan PKT bermain di Djarum Indonesia Super League (DISL) 2008/09. Meski, pada awalnya, tim ini tidak lolos kualifikasi dasar, yaitu menempati urutan 1-9 pada Ligina musim sebelumnya.
Imral Usman, rekan setim Jumadi di PKT, mengakui tragedi Jumadi merupakan pelajaran berharga. Bukan karena takut berduel dengan pemain lain, tapi kapten PKT tersebut mengaku mulai menghindari perebutan bola yang tidak mungkin dimenangkannya.
“Saya pilih aman,” ucap Si Korea, sapaannya, yang mengaku masih terpukul dengan kematian Jumadi.
Namun, dia juga mengakui jika benturan di lapangan memang tidak bisa terhindarkan. Terutama jika ia yang berposisi sebagai gelandang serang dalam posisi memegang kendali bola.
“Risiko memang selalu ada, tapi kalau masih mungkin dihindari saya tidak akan memaksa,” tuturnya.
Gelandang asing Persisam Putra, Jardel Santana juga mengatakan semua risiko siap ditanggung. Sebagai pemain profesional, dirinya memenangkan setiap pertandingan meski cedera selalu menghantui. “Tuhan punya kehendak. Tapi sebagai pemain, saya siap menanggung risiko,” tuturnya.
Menurut top scorer sementara Divisi Utama ini, memang ada baiknya jika pemain yang turun bertanding juga siap menerima semua risiko. Biarpun sepak bola bukan olahraga yang mengeksploitasi kekerasan, tapi semua kemungkinan bisa terjadi di lapangan. “Oke itu jadi pelajaran. Tapi saya akan tetap main seperti biasa,” imbuhnya.
Ferry Aman Saragih, gelandang Mitra Kukar, menilai profesi pesepak bola tidak selamanya bisa menopang ekonomi keluarga. Karena itulah, diperlukan jaminan masa depan. Asuransi pemain dinilainya sudah seharusnya dilakukan, baik oleh klub ataupun pemain.
“Saya jadi pikir-pikir dan berniat asuransi. Jujur kalau main bola tidak bisa terus menghasilkan duit. Dan, kita tidak punya dana pensiun seperti pegawai negeri,” tutur Fery.
Ya, asuransi seperti harapan Ferry Aman memang bisa menjadi satu pengaman masa depan. Klub-klub di Indonesia yang sedang dalam tahap menuju taraf profesionalisme selayaknya mulai memikirkan permasalahan seperti ini. Merunut ke belakang, selain kasus Jumadi Abdi dan Eri Irianto, Kaltim Post mencatat 11 kasus kematian di lapangan hijau di berbagai negara. Bukan untuk memberikan rasa ngeri bagi pesepak bola lain, tapi nilai sebuah pengorbanan selayaknya mendapat ganjaran setimpal. Tidak terkecuali dari klub. (*)
MEREKA MENINGGAL DI LAPANGAN
Phil O'Donnell
Kapten tim Motherwell (Skotlandia), 35 tahun, meninggal dunia setelah pingsan saat memperkuat timnya menghadap Dundee United dalam laga di kompetisi Liga Primer Skotlandia, Sabtu 29 Desember 2007 malam di Fir Park.
Antonio Puerta
Bek Sevilla, 22 tahun, meninggal tiga hari sesudah (sempat) pingsan dalam laga La Liga melawan Getafe, Sabtu, 25 Agustus 2007.
Chaswe Nsofwa
Pemain 27 tahun, mantan striker Zambia, pingsan dan meninggal ketika mengikuti sesi latihan bersama klubnya, Hapoel Beersheba (Israel). Saat itu suhu udara mencapai 40 derajat Celcius.
Hugo Cunha
Gelandang Uniao Leiria (Portugal), 28 tahun, meninggal pada Juni 2005.
Serginho
Bek Sao Caetano (Brasil), 30 tahun, meninggal saat laga Piala Brasil melawan Sao Paulo, Oktober 2004.
Miklos Feher
Pemain 24 tahun, asal Hungaria meninggal pada Januari 2004 saat memperkuat klubnya, Benfica bertanding melawan Vitoria Guimaraes.
Max Ferreira
Umur 20 tahun, pemain Botafogo (Brasil) meninggal di rumah sakit pada Juli 2003 usai pertandingan.
Marc-Vivien Foe
Pemain 28 tahun, meninggal di lapangan saat laga Kamerun vs Kolombia, Juni 2003 di semifinal Piala Konfederasi. Timnya menang 1-0.
Marcio Dos Santos
Striker Brasil berumur 28 tahun meninggal dunia beberapa jam setelah bertanding bersama klubnya Deportivo Wanka (Peru) pada Oktober 2002. Indikasi gagal jantung.
Eri Irianto
Gelandang berumur 26 tahun yang membela Persebaya Surabaya, meninggal dunia diduga akibat gagal jantung, pada 3 April 2000 di RSUD dr Soetomo. Ia meninggal setelah beberapa jam dirawat karena kondisinya memburuk pada pertandingan melawan PSIM Jogjakarta.
Dave Longhurst
Pemain The York City berumur 25 tahun. Meninggal pada September 1990. Sebelumnya, Longhurts dua menit pingsan di lapangan saat timnya berhadapan dengan Lincoln City.
Samuel Okwaraji
Pemain Nigeria berumur 24 tahun meninggal pada Agustus 1989. Ia membela negaranya menghadapi Angola pada pertandingan babak kualifikasi PD 1990.http://www.exelroze.info/2011/09/pemain-sepak-bola-yang-mati-di-tengah.htm